Selasa, 17 November 2009

Kuntum Cintanya

"De'... de'... Selamat Ulang Tahun..." bisik seraut wajah tampan tepat di
hadapanku. "Hmm..." aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur
kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontar dari
bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.


Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak pernikahan
kami lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa.
Tak ada kado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku
semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua seperti
biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan selalu ia mengecup kening, pipi,
terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa,
padahal ini hari istimewaku. Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku
seperti putri hari ini cuma memandangku.


Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa dipanku.
Memejamkan mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday to Me... Happy
Birthday to Me.... Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku
sedih di hari ulang tahunku. Kini aku sudah menikah. Terbayang bahwa diriku
pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak punya suami yang mapan, yang bisa
mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan. Bisa membelikan blackforest, bisa
membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa mengajakku menginap di sebuah
resor di malam dan hari ulang tahunku. Bukannya aku yang harus sering keluar
uang untuk segala kebutuhan sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih
besar. Sampai kapan aku mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.


"De... Ade kenapa?" tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.


Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya tepat menancap
di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan warna merah jambu. Ada
tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan itu enggan
disodorkannya kepadaku.
"Selamat ulang tahun ya De'..." bisiknya lirih. "Sebenernya aku mau bangunin
kamu semalam, dan ngasih kado ini... tapi kamu capek banget ya? Ucapnya takuttakut.


Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu. Dari
mana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur. Aku buka
perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang menggenang.


"Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng... Nggak bagus ya de?" ucapnya
terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.


Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu warna
favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey mengajakku tersenyum.
Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap entah ke mana.
Tiba-tiba aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.


"Jelek ya de'? Maaf ya de'... aku nggak bisa ngasih apa-apa.... Aku belum bisa
nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de'..." desahnya.



Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini. Kupeluk dia
dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air matanya juga
membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih dalam tunduk, air
matanya mengalir. Rabbi... mengapa sepicik itu pikiranku? Yang menilai sesuatu
dari materi? Sementara besarnya karuniamu masih aku pertanyakan.
"A' lihat aku...," pintaku padanya. Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga
bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku,
tapi keterbatasan dirinya menyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku
menatap pancaran kasih dan ketulusan itu. "Tahu nggak... kamu ngasih aku
banyaaaak banget," bisikku di antara isakan. "Kamu ngasih aku seorang suami yang
sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih
surga-Nya. Kamu ngasih aku dede'," senyumku sambil mengelus perutku. "Kamu
ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku mama...."
bisikku dalam cekat.


Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati padaku, melebihi
keluargaku sendiri. "Kamu yang selalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain
mana ada suaminya yang selalu telepon setiap siang," isakku diselingi tawa. Ia
tertawa kemudian tangisnya semakin kencang di pelukanku.


Rabbana... mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak dilihat
mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama suamiku tak
dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi, kendaraan
pribadi, jabatan suami yang oke, fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya terasa
dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia
di sisiku masih aku naifkan nilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa
saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi
pemberiannya saat kami baru menikah... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar